Minggu, 20 Desember 2015

Makalah Studi Hadis: 'Illal dan Hadis Ma'lul



BAB II
PEMBAHASAN
‘ILLAL DAN HADIS MA’LUL
A.    Definisi ‘Illal dan Hadis Ma’lul
Istilah yang termasyhur di kalangan muhadditsin dalam menamakan hadis ini adalah hadis mu’allal, dan sebagian menamakannya dengan istilah hadis ma’lul. Kedua istilah ini tidak lepas dari kritik karena keduanya tidak relevan dengan penggunaannya oleh para muhadditsin. Mereka mengguanakan kedua istilah itu untuk hadis yang padanya terdapat sifat yang mencacatkannya. Sehingga nama yang paling tepat adalah “mu’all”, karena kata yang dibentuk dari “a’alla” (menjadi cacat) yang terdiri dari empat huruf.[1]
Dalam bahasa mu’allal berasal dari kata  عَلَّلَ – يُعَلِّلُ – تَعْلِيْلاً – فَهُوَ مُعَلَّلُ yang berasal dari akar kata ‘illah (عِلَّةٌ) yang diartikan al-maradh = penyakit. Seolah-olah hadis ini terdapat penyakit yang membuat tidak sehat dan tidak kuat. Dalam istilah ‘illah atau mu’allal adalah:

هِيَ عِبَارَةُ عَنْ أَسْبَابٍ خَفِيَّةٍ غَامِضَةٍ طَرَأَتْ عَلَى الحَدِيْثِ فَقَدَحَتْ فِي صِحَّتِهِ مَعَ أَنَّ الظَّاهِرَ السَّلاَمَةُ مِنْهَا
Artinya: Illah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar tersembunyi yang datang pada hadis kemudian membuat cacat dalam keabsahannya pada hal lahirnya selamat dari padanya.
Hadis mu’allal adalah:
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ اُطُّلُعِ فِيْهِ عَلَى عَلَّةٍ تَقْدَحُ فِي صِحَّتِهِ مَعَ أَنَّ الظَّاهِرَ السَّلاَمَةُ مِنْهَا
Artinya: Hadis yang dilihat di dalamnya terdapat ‘illah yang membuat cacat kesahihan hadis, padahal lahirnya selamat dari padanya.[2]
Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang dinamakan illat menurut ulama hadis haruslah terwujud dua syarat, yaitu:
a.       Tersembunyi lagi tidak nampak.
b.      Terdapat cacat yang dapat merusak keshahihan hadis.[3]
B.     Macam-macam Hadis Mu’allal
Hadis mu’allal terbagi menjadi tiga, yaitu mu’allal pada sanad, mu’allal pada matan dan mu’allal pada keduanya (sanad dan matan).
1.      Hadis Mu’allal pada sanad
Kadang-kadang ‘illat yang terdapat dalam hadis mu’allal jenis ini dapat mencacatkan sanad dan mencacatkan matan, seperti apabila suatu hadis tidak dikenal kecuali melalui seorang periwayat, lalu ternyata padanya terdapat ‘illat, seperti idhtirab, inqitha yang tersembunyi, atau merupakan hadis mauquf yang marfuq dan sebagainya.[4]
Diantara contohnya adalah hadis Ibnu Juraij dari Musa bin ‘Uqbah dari Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah r.a., dengan marfuk:
مَنْ جَلَسَ مَجْلِسًا كَثُرَ فِيْهِ لَفَطُهُ فَقَالَ قَبْلَ اَنْ يَقُوْمُ سُبْحَانَكَ الَّلهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لا اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَ اَتُوْبً اِلَيْكَ اِلاَّغُفِرَلَهُ مَاكَانَ مِنْ مَجْلِسِهِ
Artinya: “Barang siapa hadir dalam suatu majelis yang padanya banyak terjadi kegaduhan kemudian sebelum berdiri ia berkata, “Maha suci Engkau, Ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau. Aku mohon ampun kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu”, maka ia mendapat ampunan atas dosa yang terjadi dalam majelis tersebut.
Lahir hadis ini sahih, sehingga banyak hafiz tertipu lalu mensahihkannya, tetapi terdapat ‘illat yang samar dan merusak. Yang benar dalam hal ini adalah riwayat Wahib bin Khalid al-Bahili dan Suhail dari ‘Aun bin Abdillah dari perkataan Abu Hurairah, tidak marfuk. Dalam periwayatan ini terjadi perbedaan anatara Wahib dan Musa bin ‘Uqbah. Al-Bukhari menyatakan keunggulan riwayat Wahib, dan menjelaskan bahwa di dunia ini tidak ia ketahui sanad Ibnu Juraij demikian kecuali dalam hadis ini. Selanjutnya ia berkata, “Kami tidak pernah menyatakan bahwa Musa mendengar hadis dari Suhail. Indikasi-indikasi inimemperkuat orang yang berbeda riwayat dengan Musa bin ‘Uqbah.[5]
Contoh lain:
....البَيِّعَانِ بِا لخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا...
Artinya: “Penjual dan pembeli memiliki hak untuk berkhiyar selama kedua belum berpisah.” (HR. Muslim).

Mata Rabtai sanad hadis diatas
أبن عمر
عمرو بن دينار                                             عبد الله بن دينار
سفيان الثوري

يعلى بن عبيد      ابو نعيم         محمد بن يوسف        مخلد بن يزيد
Mata rantai hadis ini dapat dilihat dari dua jalur periwayatan, yaitu:
a)      Jalur periwayatan Ya’la bin ‘Ubaid dari Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibnu Umar.
b)      Jalur periwayatan Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Yusuf dan Abu Na’im. Ketiganya dari Sufyan ats-Tsauri, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar.[6]
Dengan melihat dua jalur diatas, dapat diketahui bahwa hadis yang dari jalur periwayatan Ya’la memiliki cacat (hadis mu’allal) sebab ia menyandarkan hadisnya pada ‘Amr bin Dinar, padahal yang sebenarnya adalah ‘Abdullah bin Dinar. Sekalipun demikian, hadis Ya’la tetap dikatakan shahih pada matannya sebab redaksinya sama dengan hadis yang datang dari jalur lain.[7]
Kadang-kadang ‘illat yang terdapat pada suatu sand tidak mempengaruhi cacatnya matan, seperti bilamana perbedaan riwayat terjadi pada hadis yang memiliki sanad yang banyak, atau dalam menentukan salah satu dari dua rawi yang tsiqat.[8]
2.      Hadis mu’allal pada matan
a.       Hadis riwayat Ibrahim bin Thuhman:
ثُمَّ لِيَغْتَرِفْ بِيَمِيْنِهِ مِنْ اِنَائِهِ لِيِصُبَّ عَلَى شِمِالِهِ مَقْعَدَتَهُ
Artinya: “....kemudian hendaklah menciduk dengan tangan kanannya untuk dituangkan ke tangan kirinya, setelah itu cucilah pantatnya.”
b.      Hadis riwayat Bukhari dan Turmudzi
اِذَا اسْتَيْقَظَ اَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَغْسِلْ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ اَنْ يَجْعَلَهُمَا فِيْ لاِنَاءِ فَاِنَّهُ لاَ يَدْرِى أَمِيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ
Artinya: “Jika seseorang dari kamu bangun tidur, cucilah kedua teapak tapak tangannya tiga kali sebelum dimasukkan ke tempat air wudhu sebab ia tidak mengetahui kemana tangannya semalam...”

Mata rantai sanad hadis diatas
ابو هريرة
محمد بن سيرين                         ابيه             الاعراج        سعيد بن المسيب
هشام بن حسان        سهيل بن ابى صالح            ابو الزناد       الزهر
                 ابراهيم بن طهمان                       ملك           لاوزاعى
                                                 عبدالله بن يوسف     الوليد
                                                         البخارى        الترمذى

Dalam hadis diatas, ditemukan perbedaan pada matan dan dua jalur periwayat, yaitu:
a)      Jalur periwayatan Ibrahim bin Thuhman, berasal dari dua periwayat, yaitu:
-          Dari Suhail bin Abi Shalih, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah.
-          Dari Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah.
b)      Adapun jalur periwayatan Bukhari dan Turmudzi yang redaksi matan keduanya sama, yaitu:
-          Bukhari, dari Abdullah bin Yusuf, dari Malik, dari Abu az-Zinad, dari al-‘Araj, dari Abu Hurairah...
-          Turmudzi, dari al-Walid, dari al-Auza’iy, dari az-Zuhri, dari Sa’id bin AL-Musayyab, dari Abu Hurairah...
Setelah melakukan perbandingan antara ketiga jalur periwayatan hadis tersebut, ditemukan fakta bahwa matan hadis dari jalur Ibrahim bin Thuhman memiliki ‘illat. Sebab, menurut hasil penelitian Abu Hatim ar-Raziy, di akhir matan hadis itu, yakni kalimat sampai adalah perkataan Ibrahim bin Thuhman sendiri.
3.      Hadis Mu’allal dalam sanad dan matan
Contoh hadis yang dikeluarkan oleh al-Nas’i dan Ibnu Majah dari riwayat Baqiyyah dari Yunus dari al-Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar dari Nabi Saw., beliau bersabda:
مَنْ اَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاَةٍ الجُمُعَةِ وَ غَيْرِهَا فَقَدْ اَدْرَكَ
Artinya: “Barang siapa mendapatkan satu rakaat (dari sisa waktu) dalam salat jum’at atau lainnya, maka ia telah menunaikan (salatnya).
Abu Hatim al-Razi berkata: “Hadis ini salah matan dan sanadnya. Yang benar hadis dari Abu Hurairah dari Nabi Saw.,:
مَنْ اَدْرَكَ مِنْ صَلاَةٍ رَكْعَةً فَقَدْ اَدْرَكَهَا
Artinya: “Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari suatu salat (masih pada waktunya), maka ia mendapatkan salat itu.[9]
Atau hadis riwayat Bukhari Muslim:
مَنْ اَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاَةٍ فَقَدْ اَدْرَكَ (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: “Siapa saja yang mendapatkan satu rakaat dari suatu shalat, berarti ia mendapatkan shalat itu dengan sempurna”[10]
Adapun kata-kata “min salat al jum’ati wa ghairiha” tidak terdapat dalam hadis ini. Jadi matan dan sanad tersebut dipertanyakan. Hadis ini diriwayatkan dalam shahihain dan lainnya (Al-Bukhari) dari banyak jalan dengan redaksi yang berada dengan riwayat Baqiyyah dari Yunus. Hal ini menunjukkan adanya ‘illat dalam hadis riwayat Baqiyyah ini.[11]

Skema Mata Rantai Sanad Hadis diatas
ابن عمر                                                             ابو هريرة

سالم                                                                 ابو سلمة

الزهرى                                                              الزهرى
 

يونس                                               يونس                  مالك


بقية بن الواليد               ابن وهب              يحي بن يحي            عبدالله


 
                                            حرملة بن يحي

                                                                                            مسلم           البخار
Dari contoh hadis mu’allal diatas, dapat diambil pemahaman bahwa cacat atau ‘illat yang dapat mempengaruhi matan adalah:
a.       Jika kecacatan hadis disebabkan oleh sikap yang langsung me-mauquf-kan, artinya memangkas pemberitaan, langsung kepada sahabat.
b.      Jika cacat itu disebabkan oleh sikap yang langsung meng-irsal-kan, artinya meninggalkan sahabat yang seharusnya dijadikan sumber pemberitaan.
c.       Jika cacat itu disebabkan oleh sikap yang langsung me-munqati’-kan, artinya menggugurkan salah satu perawi yang memang menjadi mata rantai sanad-nya.[12]
  1. Cara Mengetahui Hadis Mu’allal
1.      Mengumpulkan sejumlah riwayat suatu hadis, kemudian membuat perbandingan diantara sanad dan matannya. Dengan demikian perbedaan dan kesamaannya akan menunjukkan tempat ‘illat. Apabila disertai dengan beberapa indikasi, maka ia akan semakin jelas dan mudah diketahui. Cara ini adalah yang paling banyak pemakainya. Kadang-kadang perlu dilakukan pula pengumpulan semua hadis dalam bab yang sama, bahkan setiap hadis yang ada kaitannya dengan maksud kandungannya. Hal ini membutuhkan hafalan yang mantap dan kecepatan pengungkapannya.
2.      Membandingkan susunan para rawi dalam sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing pada keumuman sanad. Maka akan diketahui bahwa posisi para rawi dalam suatu untaian sanad itu berbeda dengan sanad-sanad lainnya. Hal ini merupakan suatu indikator adanya sanad ‘illat yang samar padanya, meski ‘illat itu sangat sulit ditentukan. Dan ini tidak mungkin dapat diketahui kecuali dengan hafalan yang sempurna, ingatan yang halus, dan kecepatan mengungkap kembali terhadap sejumlah sanad.[13]
3.      Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan dalam syarah ‘Ilal Jami’ al-Turmudzi “Kaidah penting: Kecerdasan para kritikus hadis dari kalangan para hafiz yang merupakan refleksi keleluasaan wawasan mereka tentang hadis dan pengetahuan mereka tentang para rawi menjadikan mereka memiliki pemahaman khusus. Selanjutnya mereka menilai adanya ‘illat pada beberapa hadis. Semua ini hanya dapat diketahui dengan pemahaman dan pengetahuan khusu yang tidak dimiliki oleh ahli ilmu lain.
4.      Dijelaskan oleh salah seorang imam hadis yang dikenal keahliannya dalam bidang ini bahwa suatu hadis ber-‘illat dengan dijelaskan jenis ‘illat-nya atau cacatnya, sebab mereka adalah para dokter ahli tenntang urusan-urusan serumit ini.[14]
Al-Khathib al-Baghdadi mengatakan, Cara mengetahui illah hadis adalah dengan mengumpulkan semua jalur periwayatan, melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar terhadap kedudukan mereka dari segi hafalan, dan posisi mereka dalam hal kebenaran dan keakurasian.[15]
Jadi, cara mengetahui apakah suatu hadis memiliki cacat sehingga termasuk mu’allal ataukah tidak adalah dengan mengumpulkan semua jalur sanad hadis dan riwayatnya, mengkajinya secara mendalam, dan melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar (analisis) terhadap kedudukan para rawi dari segi hafalan, keakurasian dan kebenarannya.
  1. Sumber-sumber Hadis Mu’allal
Para kritikus dari kalangan imam telah menyusun banyak kitab dalam bidang ini. Kitab-kitab itu memuat inti pembahasan mereka yang sangat rumit. Diantaranya berikut ini:
a.       Al-‘Ilal al-Kabir atau Al-‘ilal al-Mufarrad, karya al-Turmudzi.
b.      Ilal Al-Hadis karya Imam Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi. Kitab ini telah dicetak dalam dua jilid.
c.       Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Al-Ahdits an-Nabawiyyah karya Imam al-Daraquthni.[16]






BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian mengenai ‘illat dan hadis mu’allal diatas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai ‘illat dan hadis mu’allal, yaitu:
1.      Illah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar tersembunyi yang datang pada hadis kemudian membuat cacat dalam keabsahannya pada hal lahirnya selamat dari padanya. Sedangkan Hadis mu’allal adalah hadis yang dilihat di dalamnya terdapat ‘illah yang membuat cacat kesahihan hadis, padahal lahirnya selamat dari padanya.
2.      Hadis mu’allal terbagi menjadi tiga, yaitu mu’allal pada sanad, mu’allal pada matan dan mu’allal pada keduanya (sanad dan matan).
3.      Cara untuk dapat mengetahui hadis tersebut adalah hadis mu’allal yaitu:
a.       Mengumpulkan sejumlah riwayat suatu hadis, kemudian membuat perbandingan diantara sanad dan matannya.
b.      Membandingkan susunan para rawi dalam sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing pada keumuman sanad.
c.       Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan dalam syarah ‘Ilal Jami’ al-Turmudzi “Kaidah penting: Kecerdasan para kritikus hadis dari kalangan para hafiz yang merupakan refleksi keleluasaan wawasan mereka tentang hadis dan pengetahuan mereka tentang para rawi menjadikan mereka memiliki pemahaman khusus.
d.      Dijelaskan oleh salah seorang imam hadis yang dikenal keahliannya dalam bidang ini bahwa suatu hadis ber-‘illat dengan dijelaskan jenis ‘illat-nya atau cacatnya, sebab mereka adalah para dokter ahli tenntang urusan-urusan serumit ini.


DAFTAR PUSTAKA

‘Itr, Nuruddin. 2012. ‘Ulumul Hadis, terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abdul Majid Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah.
Thahhan, Mahmud. 1997. Ulumul Hadis; Studi Kompleksitas Hadis Nabi; penerjemah,
Zainul Muttaqin. Yogyakarta: Titian Ilahi Perss.
Zein, M. Ma’shum. 2014. Ilmu Memahami Hadits Nabi; Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadits & Mustholah Hadits, Yogyakarta: Pustaka Pesantren.






[1] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, terj. Mujiyo., (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 482.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), cet.iv., hlm. 189.
[3] Mahmud Thahhan, Ulumul Hadis; Studi Kompleksitas Hadis Nabi; penerjemah, Zainul Muttaqin (Yogyakarta: Titian Ilahi Perss, 1997), hlm. 106.
[4] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis…, hlm. 483.
[5] Ibid., hlm. 483.
[6] M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi; Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits & Mustholah Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2014), hlm. 167.
[7] Ibid., hlm. 167-168.
[8] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis…, hlm. 484.
[9] Ibid., hlm. 486.
[10] M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits..., hlm. 170.
[11] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis…, hlm. 486.
[12] M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits..., hlm. 170.
[13] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis…, hlm. 487.
[14] Ibid., hlm. 488.
[15] http://www.fimadani.com/pengertian-hadits-muallal/ (diakses tanggal 11-12-2015, Pukul 17.00).
[16] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis…, hlm. 490.